Selasa, 26 Mei 2015

AN INNOCENT KILLER

Lelaki bercodet itu memberikan Lano tawaran yang teramat sulit. Tapi tak ada pilihan lain, dia membutuhkan uang untuk biaya operasi ibunya yang sudah sekarat. Dan hanya lelaki itu yang bisa membantunya.

"Aku akan memberikan kau pinjaman, tapi kau harus menyelesaikan pekerjaan yang akan kuberikan padamu." Ucap si Codet sambil memberikan sebuah foto, alamat yang tertulis di bagian belakangnya, dan sepucuk pistol.

Lano paham artinya. Sama seperti dia memahami bahwa membunuh orang adalah perbuatan yang salah di mata hukum maupun agama. Tapi, telepon dari adiknya yang mengabarkan bahwa ibunya menderita semacam penyakit langka dan butuh segera di operasi, membuatnya terpaksa menerima tawaran itu.

"Rumah sakit ini masih beruntung punya seorang dokter yang bisa menangani penyakit Ibu, Bang. Biayanya 25 juta. Harus dioperasi sesegera mungkin." Ucapan adiknya itu terus terngiang di otak Lano, sembari langkah kakinya terus membawanya menuju alamat yang tertera di balik foto itu.

25 juta...25 juta...25 juta...tak mungkin Lano bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam satu malam, dengan melakukan sebuah pekerjaan yang halal.

Dan tibalah Lano di sebuah kedai kopi. Dari hasil pengamatannya, tak terlalu banyak pengunjung di dalam sana. Dan si target sendiri, duduk di meja paling dekat dengan pintu keluar.

Ini bagus! Batin Lano. Dengan kegugupan yang sampai membuat tangannya gemetaran, Lano mengambil pistol dari balik badannya. Dan tanpa mau buang waktu, dia berjalan cepat mendekati target, mengarahkan moncong ke arah belakang kepalanya lalu...

DOR!! DOR!!

Dua kali ledakan yang membuat pengunjung panik dan si target terjatuh ke arah meja. Berlumuran darah. Dia mati. Lano yakin dia mati.

Sebelum keadaan makin kacau, Lano sesegera mungkin mengambil langkah seribu. Lari sekencangnya menyusuri gang demi gang, dan sampai ke tempat si Codet lima belas menit kemudian.

"Ini duitnya. Antar ke rumah sakit dan segera sembunyi sampai polisi berhenti mencarimu."

Dan bersamaan dengan Lano yang menerima koper hitam berisi 25 juta itu, teleponnya berdering. Dari adiknya.

"Bang..."

"Apa? Aku sudah ada duitnya. Bilang ke dokter untuk segera melakukan operasi!"

Tapi adiknya malah menangis. "Satu-satunya dokter yang bisa menangani penyakit ibu tewas ditembak orang di cafe baru saja! Dokter kepala rumah sakit yang ngasih kabar ke aku...kita harus bagaimana lagi, Bang???"

1 komentar: