Minggu, 03 Mei 2015

BOWO DAN SEPATU LUKIS

Sebelum pergi, Bowo mengantarkan adik perempuannya yang berumur 12 tahun itu ke kamar mandi. Setelahnya, dia pamit kepada sang ibu dan melenggang secepat kilat keluar rumah. Mumpung masih pagi.

Karena hari ini adalah hari spesial. Kemarin, Bowo menghitung kembali jumlah uang di celengannya. Sudah cukup! batinnya. Sudah cukup untuk memberikan sebuah hadiah kepada Lala, adiknya yang amat dia sayangi.

Rumah Bowo berada di sebuah desa yang terpencil. Dan dengan menggunakan sepeda kayuhnya, butuh waktu tiga jam untuk mencapai kota terdekat. Tapi Bowo tak peduli. Dengan semangat empat lima, dia kayuh sepedanya sekencang mungkin. Bahkan rasa lelah tak terasa karena bayangan tentang wajah sumringah Lala saat mengetahui kakaknya memberinya sebuah hadiah yang mengejutkan.

Sesampainya di kota, Bowo sedikit gamang. Dia bingung mau kemana. Tapi tak lama, akhirnya dia memutuskan untuk masuk ke sebuah mall yang tampak megah dan besar.

Oh, begini ya yang namanya mall. Batin Bowo. Dia berjalan-jalan dengan wajah terpukau melihat luas dan kerennya tempat ini. Banyak orang-orang dengan dandanan rapi dan wangi berlalu lalang. Segala macam hal juga disediakan lengkap di sini. Sampai-sampai Bowo hilang fokus, dan berbelok ke salah satu kios yang paling menarik perhatiannya dibandingkan lainnya.

"Maaf mas?" Sapaan mbak-mbak cantik itu membuyarkan perhatian Bowo, yang sedari tadi tak melepaskan pandangannya dari etalase. Dia terkagum-kagum dengan sepasang sepatu cantik yang ada di baliknya.

"Ini sepatu apa mbak? Yang bagus ini?" Tanya Bowo.

Mbak-mbak cantik tadi tersenyum manis sekali. "Ini namanya sepatu lukis mas. Jadi motifnya ini dilukis tangan. Harganya juga murah."

"Berapa mbak?" Bowo berkata dengan antusias.

"20 ribu deh buat mas."

Pas! Batin Bowo. Pas dengan jumlah tabungannya selama lima bulan ini. Tanpa buang waktu, Bowo lalu membayar sepatu lukis tersebut dan membawanya pulang.

Di perjalanan, kayuhan sepeda Bowo lebih kencang daripada saat berangkat tadi. Semangatnya kian membara. Dia sudah tak sabar memberikan hadiah ini kepada Lala.

Sesampainya di teras rumah, Bowo langsung turun dari sepedanya dan berjalan menuju pintu depan tanpa mengatur dulu nafasnya yang ngos-ngosan. Bersamaan, nampak keluar Lala yang dibopong oleh ibunya.

Seketika langkah Bowo terhenti. Wajah penuh semangatnya hilang seketika, tergantikan oleh sebuah kebekuan. Kakinya serasa terpaku, tak bisa digerakkan.

Bowo baru sadar bahwa dia telah melupakan sesuatu yang sebenarnya terlampau keterlaluan sampai bisa terlupakan; kedua kaki adiknya diamputasi dua tahun lalu karena kecelakaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar