"Apa
yang kau takuti?"
"Diam,
jangan kau tanyakan hal itu lagi..."
"Kau
takut mati?"
"Hahaha…lucu.
Sudah? Oke, sekarang diamlah."
"Atau
kau takut dengan hidup yang seperti ini?"
"Berhentilah
mengoceh..."
"Ah!
Jangan-jangan kau takut dengan dirimu sendiri..."
"Darimana
pikiran busukmu itu datang?"
"Aku
sering melihatmu mengusamkan cermin di ruangan yang selalu kau kunci itu."
"Tunggu
dulu. Kau tidak..."
"Nah!
Jadi benar kan?"
"Dengar,
Aku sudah memberimu peringatan yang..."
"Iya
kan? Kau masih nekad berkelit?"
"DIAAAMMM!!!!"
"Jangan
membentakku, aku sudah sering mendengar gertakan yang lain."
"Aku
bilang DIAM!!"
"Baiklah,
kalau itu maumu. Namun jangan salahkan aku jika malam ini akan lebih sunyi dari
biasanya."
"Kau
mengancamku?"
"Siapa
yang mengancammu?
"Kau!"
"Aku
tidak pernah mengancam siapapun seumur hidupku."
"Terserahlah.
Bukankah hari-hari biasanya juga sudah sunyi. Sadarilah, hanya tinggal kita
berdua di sini!"
"Ya,
memang. Lalu kenapa?"
"Hey
hey, kenapa matamu berkaca-kaca? Hahaha...jangan cengeng, bodoh!"
"Aku
tidak cengeng, brengsek!"
"Lalu
itu apa di matamu, kalau bukan air mata yang tertahan?"
"Aku
hanya sedih saja...bukankah kau juga sering sedih? Bukankah matahari juga
sering sedih?"
"Aku
sudah lama tak melihatnya."
"Siapa?"
"Matahari,
siapa lagi?"
"Dia
tak akan pernah terbit lagi...kau tahu itu."
"Sudahlah,
sekarang ceritakan kenapa kau menjadi sedih mendayu-dayu seperti itu?
"Aku
memikirkannya sepanjang hari dan tak pernah menemukan jawabannya."
"Apa?"
"Kenapa
kita tidak ikut mati, seperti orang-orang lain? Aku tidak percaya Tuhan. Tapi
jika Dia memang ada, kenapa Dia meninggalkan kita berdua dalam kekosongan maha
senyap ini?"
"..."
"..."
"..."
"Kenapa
kau diam?"
"Tidak
apa-apa."
"Kau
tak ingin memberikan tanggapan?"
"Tidak."
"Yakin?"
"Apa
kau sudah mengantuk?"
"Jangan
menjawab pertanyaan dengan pertanyaan."
"Aku
tak tahu harus menjawab apa."
"Kau
ingin tidur?"
"Mungkin,
aku kelelahan."
"Lebih
baik kau beristirahat."
"Baiklah.
Pinjam bahumu."
"Setiap
hari kau meminjamnya. Jadi berhentilah meminta seperti kita baru saling
mengenal."
"Baiklah.
Selamat malam..."
"Apa
kau bilang? 'Selamat malam'?"
"Kenapa?"
"Bagaimana
kau membedakan siang dan malam? Bukankah di sini selalu malam?"
"Bukan
hanya di sini, tapi di semua sudut. Di semua tempat."
"Nah!"
"Peduli
setan! Selamat malam..."
"Ha
ha ha ha...baiklah, selamat malam."
Catatan:
- FlashFiction ini diikutsertakan dalam Prompt Quiz #8 di grup Monday FlashFiction.
- Jumlah kata: 333.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar