Kamis, 05 Februari 2015

TIME AFTER TIME

Aku mengenal orang itu belum lama. Baru satu jam yang lalu. Tapi dari kisah yang diceritakannya padaku, entah mengapa aku langsung merasa ada ikatan yang mendekatkan kami satu sama lain. Aku terkesan dengan kisah hidupnya. Sahabat baruku; Mamo namanya.

"Kurang berapa menit lagi?" Tanya Mamo kepadaku.

Aku melirik sedikit ke arah jam tangan. "Ehm, lima belas menit lagi. Sekitar itulah..."

"Kau hafal betul ya?"

"Tentu saja. Setiap hari aku lewat sini sepulang kerja."

"Memangnya kau bekerja di mana?"

Aku menunjuk ke arah gedung-gedung tinggi di seberang sana. "Aku bekerja di salah satu gedung-gedung tinggi itu. Cleaning service."

"Oh..." Tanggapnya singkat. Lalu dia kembali terdiam. Kami kembali terdiam. Membeku dan membiarkan detik-detik kian berlalu.

"Ehm...ngomong-ngomong...kau sudah yakin?" Iseng aku bertanya. Memecah keheningan di antara kita.

Aku melihat dia menerawang jauh ke depan sebelum menjawab pertanyaanku. "Aku bahkan sudah tak sabar lagi. Kurang berapa menit?"

Aku kembali melirik jam tangan. "Tujuh menit. Eh, dengar...dengar! Kau bisa dengar suaranya?!"

Kami kembali diam. Memasang telinga baik-baik. Suara itu awalnya terdengar samar-samar, namun makin lama makin jelas di pendengaran. Kulihat Mamo tersenyum lebar. Senyum antara senang dan tak sabaran. Aku belum pernah melihat yang seantusias dan sesemangat Mamo.

"Kau benar! Sudah datang! Aku harus bersiap!"

Suara itu mendekat. Kian dekat. Kian dekat. Dan Mamo mempersiapkan dirinya. Memakai kembali jas mahalnya dan membenarkan dasi warna hitamnya. Tak lupa dia sisir kembali rambut hitam berkilaunya ke arah belakang.

"Beginipun harus tetap gaya. Setidaknya aku bisa pergi dengan berkelas." Ujarnya sambil tersenyum ke arahku.

Aku balas tersenyum. "Aku harus menanyakan kepadamu sekali lagi. Kau sudah yakin?"

Mendengar pertanyaanku barusan, Mamo melangkah mendekat ke arahku. "Kau orang baik, kawan. Aku baru mengenalmu satu jam lalu, tapi aku tahu kau orang baik. Setidaknya kau sudah mendengar kisah hidupku dan memaklumi alasan atas semua ini. Keretanya sudah datang. Aku harus bersiap."

Mamo, dengan setelan jas dan penampilan berkelasnya, melangkahkan kaki ke arah rel dan berhenti tepat di tengahnya. Dia berdiri tegak. Tersenyum. Dan di tiga detik terakhirnya, sebelum kereta itu menyambar dan menghancurkan tubuhnya, Mamo masih sempat menoleh dan melambaikan tangan kearahku.

"Terimakasih. Selamat tinggal."

Dan semuanya berakhir. Sesederhana itu.

Aku hanya mendesah. Mamo telah melakukan apa yang harus dia lakukan. Begitu pula aku yang harus melanjutkan perjalanan pulang.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar