Peringatan: Cerita Berikut Berisi Konten dan Deskripsi yang Mungkin Mengganggu Bagi Beberapa Pembaca.
Mungkin aku yang sudah terlalu lama hidup di sisi gelap dunia.
Aku yang terlalu tenggelam dalam malam yang kejam. Walau aku sendiri tahu, ragaku
sudah tak mampu lagi untuk berdiri di sini.
Umurku sudah menginjak kepala enam. Payudaraku sudah mengendur
menjijikkan dan bokongku tak bisa lagi untuk dibanggakan. Kemolekan yang dulu pernah
kumiliki, kini tak lagi bersisa. Maka tak mengejutkan jika mereka bertanya keheranan
kepadaku, "Kenapa kau masih saja melacur?".
Klise. Aku butuh uang. Aku merelakan tubuh tuaku ditebas angin
malam seperti ini, karena aku butuh uang. Aku menguatkan kedua kaki ringkihku ini
untuk tetap berdiri di pinggiran jalan Monginsidi sambil menggodai para lanang yang
lewat, karena aku butuh uang.
Tapi mereka yang lewat, hanya berlalu sambil memandangiku dengan
tatapan jijik. Seolah-olah aku ini tak ubahnya seoonggok daging busuk yang sudah
lewat masa kadaluarsa. Mereka hanya berlalu. Tak menganggapku. Meninggalkanku bersama
malam yang beku.
Lalu kenapa aku masih berdiri di sini? Dialah alasanku. Seorang
pria muda yang membawa anjingnya yang lucu, yang pada suatu hari datang menghampiriku.
Seorang pria muda yang sampai sekarang merupakan satu-satunya pelangganku. Dia membayarku
dengan tarif -kau boleh tak percaya- yang bahkan melebihi tarif seekor pelacur muda.
"Kau pecun kan?" Katanya ketika pertama kali kami bertemu.
"Aku akan membayarmu dan sekarang ikut aku ke motel dekat situ."
Tidak! Dia tidak membayarku untuk bercinta dengannya. Sesampainya
kami di kamar motel, dia memintaku untuk telanjang dan lalu bercinta dengan anjingnya.
Sedangkan dia sendiri, hanya duduk di ujung sana sambil menatap kami, aku dan anjingnya
bercinta. Dia menikmati pemandangan itu, dia menikmati lenguhanku, dia menikmati
ringkihan lirih anjing yang dia namai Dogu. Pria muda itu, berdiri di sana sambil
mencari kenikmatannya sendiri.
"Libidoku naik setiap melihat anjingku bercinta dengan manusia."
Kata pria muda yang tak pernah menyebutkan nama itu. Ya, dia tak pernah menyebutkan
namanya. Tapi aku memberinya panggilan Iblis.
Iblis yang menjadi satu-satunya pelangganku yang tersisa.
Entahlah..
BalasHapusngeri,
Tapi aku suka, sma tulisan kamu, gaya n bahasa yg dipake
Thank you Dian, for being my good reader :))
Hapus