Aku melihatnya dari kejauhan.
Sebuah upacara pemakaman yang dihadiri oleh tak terlalu banyak orang. Hanya keluarga dan sahabat-sahabat dekat. Di sana, terlihat sang ibu yang menangis meronta-ronta di depan makam dan beberapa orang mencoba menenangkan dengan memeluk kedua pundaknya. Sedangkan sang Pendeta terus membacakan doa-doa keselamatan dan pelipur lara bagi yang ditinggalkan.
Sebuah upacara pemakaman yang dihadiri oleh tak terlalu banyak orang. Hanya keluarga dan sahabat-sahabat dekat. Di sana, terlihat sang ibu yang menangis meronta-ronta di depan makam dan beberapa orang mencoba menenangkan dengan memeluk kedua pundaknya. Sedangkan sang Pendeta terus membacakan doa-doa keselamatan dan pelipur lara bagi yang ditinggalkan.
Semua yang hadir di sana sudah tahu apa yang terjadi. Kematian tragis itu sudah menjadi rahasia umum. Bunuh diri dengan cara membakar diri sendiri di apartemen pribadi, karena masalah hutang yang sudah terlanjur menumpuk dan tak mungkin lagi bisa dilunasi.
Sebenarnya sang Ibu sempat ditawari polisi untuk melakukan otopsi, untuk memastikan bahwa itu semua adalah murni bunuh diri dan bukan pembunuhan. Tapi sang ibu menolak.
Sempurna bukan? Malam itu, tiga hari lalu, aku berhasil mengajak seorang tunawisma untuk datang ke apartemen pribadiku. Aku sajikan kepadanya berbagai macam makanan, memberinya satu setel pakaianku lalu kuserahkan dompet milikku yang berisi sedikit uang dan kartu tanda pengenal. Tentu saja gelandangan itu tak menolaknya sama sekali.
Sehabis itu, bisa kautebak. Aku membakar tubuhnya sampai wajahnya tak bisa dikenali lagi. Seperti yang kubilang, ini skenario yang sempurna!
Setidaknya aku bisa lolos dari hutang-hutang yang awalnya kupikir tak akan pernah bisa kulunasi, batinku sambil berlalu dari tempatku.
liciknya (゙ `-´)/
BalasHapustapi malsuin kematian gini emang sering sih…
Jangankan manusia, kucing aja kalau udah kepentok tembok, dan dalam keadaan terancam, dia akan melakukan sesuatu yang gila dan tidak terduga.
HapusThanks Annida for being a good reader... :))