Jumat, 14 Agustus 2015

DIALOG SEUSAI WAKTU

"Apa yang kau takuti?"

"Diam, jangan kau tanyakan hal itu lagi..."

"Kau takut mati?"

"Hahaha…lucu. Sudah? Oke, sekarang diamlah."

"Atau kau takut dengan hidup yang seperti ini?"

"Berhentilah mengoceh..."

"Ah! Jangan-jangan kau takut dengan dirimu sendiri..."

"Darimana pikiran busukmu itu datang?"

"Aku sering melihatmu mengusamkan cermin di ruangan yang selalu kau kunci itu."

"Tunggu dulu. Kau tidak..."

"Nah! Jadi benar kan?"

"Dengar, Aku sudah memberimu peringatan yang..."

"Iya kan? Kau masih nekad berkelit?"

"DIAAAMMM!!!!"

"Jangan membentakku, aku sudah sering mendengar gertakan yang lain."

"Aku bilang DIAM!!"

"Baiklah, kalau itu maumu. Namun jangan salahkan aku jika malam ini akan lebih sunyi dari biasanya."

"Kau mengancamku?"

"Siapa yang mengancammu?

"Kau!"

"Aku tidak pernah mengancam siapapun seumur hidupku."

"Terserahlah. Bukankah hari-hari biasanya juga sudah sunyi. Sadarilah, hanya tinggal kita berdua di sini!"

"Ya, memang. Lalu kenapa?"

"Hey hey, kenapa matamu berkaca-kaca? Hahaha...jangan cengeng, bodoh!"

"Aku tidak cengeng, brengsek!"

"Lalu itu apa di matamu, kalau bukan air mata yang tertahan?"

"Aku hanya sedih saja...bukankah kau juga sering sedih? Bukankah matahari juga sering sedih?"

"Aku sudah lama tak melihatnya."

"Siapa?"

"Matahari, siapa lagi?"

"Dia tak akan pernah terbit lagi...kau tahu itu."

"Sudahlah, sekarang ceritakan kenapa kau menjadi sedih mendayu-dayu seperti itu?

"Aku memikirkannya sepanjang hari dan tak pernah menemukan jawabannya."

"Apa?"

"Kenapa kita tidak ikut mati, seperti orang-orang lain? Aku tidak percaya Tuhan. Tapi jika Dia memang ada, kenapa Dia meninggalkan kita berdua dalam kekosongan maha senyap ini?"

"..."

"..."

"..."

"Kenapa kau diam?"

"Tidak apa-apa."

"Kau tak ingin memberikan tanggapan?"

"Tidak."

"Yakin?"

"Apa kau sudah mengantuk?"

"Jangan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan."

"Aku tak tahu harus menjawab apa."

"Kau ingin tidur?"

"Mungkin, aku kelelahan."

"Lebih baik kau beristirahat."

"Baiklah. Pinjam bahumu."

"Setiap hari kau meminjamnya. Jadi berhentilah meminta seperti kita baru saling mengenal."

"Baiklah. Selamat malam..."

"Apa kau bilang? 'Selamat malam'?"

"Kenapa?"

"Bagaimana kau membedakan siang dan malam? Bukankah di sini selalu malam?"

"Bukan hanya di sini, tapi di semua sudut. Di semua tempat."

"Nah!"

"Peduli setan! Selamat malam..."

"Ha ha ha ha...baiklah, selamat malam."



Catatan:

  • FlashFiction ini diikutsertakan dalam  Prompt Quiz #8 di grup Monday FlashFiction.
  • Jumlah kata: 333.




Tidak ada komentar :

Posting Komentar