Aku mengenal orang itu
belum lama. Baru satu jam yang lalu. Tapi dari kisah yang diceritakannya
padaku, entah mengapa aku langsung merasa ada ikatan yang mendekatkan kami satu
sama lain. Aku terkesan dengan kisah hidupnya. Sahabat baruku; Mamo namanya.
"Kurang berapa menit
lagi?" Tanya Mamo kepadaku.
Aku melirik sedikit ke
arah jam tangan. "Ehm, lima belas menit lagi. Sekitar itulah..."
"Kau hafal betul
ya?"
"Tentu saja. Setiap
hari aku lewat sini sepulang kerja."
"Memangnya kau
bekerja di mana?"
Aku menunjuk ke arah
gedung-gedung tinggi di seberang sana. "Aku bekerja di salah satu
gedung-gedung tinggi itu. Cleaning service."
"Oh..."
Tanggapnya singkat. Lalu dia kembali terdiam. Kami kembali terdiam. Membeku dan
membiarkan detik-detik kian berlalu.
"Ehm...ngomong-ngomong...kau
sudah yakin?" Iseng aku bertanya. Memecah keheningan di antara kita.
Aku melihat dia
menerawang jauh ke depan sebelum menjawab pertanyaanku. "Aku bahkan sudah
tak sabar lagi. Kurang berapa menit?"
Aku kembali melirik jam
tangan. "Tujuh menit. Eh, dengar...dengar! Kau bisa dengar
suaranya?!"
Kami kembali diam.
Memasang telinga baik-baik. Suara itu awalnya terdengar samar-samar, namun
makin lama makin jelas di pendengaran. Kulihat Mamo tersenyum lebar. Senyum
antara senang dan tak sabaran. Aku belum pernah melihat yang seantusias dan
sesemangat Mamo.
"Kau benar! Sudah
datang! Aku harus bersiap!"
Suara itu mendekat. Kian
dekat. Kian dekat. Dan Mamo mempersiapkan dirinya. Memakai kembali jas mahalnya
dan membenarkan dasi warna hitamnya. Tak lupa dia sisir kembali rambut hitam
berkilaunya ke arah belakang.
"Beginipun harus
tetap gaya. Setidaknya aku bisa pergi dengan berkelas." Ujarnya sambil
tersenyum ke arahku.
Aku balas tersenyum.
"Aku harus menanyakan kepadamu sekali lagi. Kau sudah yakin?"
Mendengar pertanyaanku
barusan, Mamo melangkah mendekat ke arahku. "Kau orang baik, kawan. Aku
baru mengenalmu satu jam lalu, tapi aku tahu kau orang baik. Setidaknya kau sudah
mendengar kisah hidupku dan memaklumi alasan atas semua ini. Keretanya sudah
datang. Aku harus bersiap."
Mamo, dengan setelan jas
dan penampilan berkelasnya, melangkahkan kaki ke arah rel dan berhenti tepat di
tengahnya. Dia berdiri tegak. Tersenyum. Dan di tiga detik terakhirnya, sebelum
kereta itu menyambar dan menghancurkan tubuhnya, Mamo masih sempat menoleh dan
melambaikan tangan kearahku.
"Terimakasih.
Selamat tinggal."
Dan semuanya berakhir.
Sesederhana itu.
Aku hanya mendesah. Mamo
telah melakukan apa yang harus dia lakukan. Begitu pula aku yang harus
melanjutkan perjalanan pulang.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar